harian central net | TULANG BAWANG – Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, diduga menjadi tempat berlangsungnya praktik pungutan liar (pungli). Modus yang digunakan adalah penyewaan alat komunikasi berupa handphone (HP) dan pengumpulan uang keamanan dari warga binaan.
Salah satu sumber terpercaya, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengungkapkan melalui pesan WhatsApp kepada media bahwa warga binaan dikenakan biaya Rp1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) untuk menyewa HP.
Selain itu, mereka juga diwajibkan menyetor uang sebesar Rp3.000.000 (tiga juta rupiah) kepada kepala kamar (KEP), dengan alasan sebagai dana keamanan yang diberikan kepada petugas tertentu di dalam Rutan.
“Di sini, bang, tarikan setoran kepada kepala kamar dan biaya sewa HP sudah sangat luar biasa,” ujar narasumber tersebut kepada awak media pada Senin (16/12/2024).
Menanggapi laporan itu, sejumlah media kemudian mendatangi Rutan Kelas IIB Menggala. Kedatangan mereka diterima oleh Kepala Pengamanan Rutan (KPR), Teguh. Ia mewakili Kepala Rutan, Dwi Adiyanto yang sedang tidak di tempat.
Teguh menyatakan akan melaporkan informasi tersebut kepada Ka Rutan untuk ditindaklanjuti.
“Kami akan telusuri laporan ini. Informasi dari rekan-rekan media segera saya sampaikan ke Kepala Rutan,” ujar Teguh singkat.
Namun penjelasan yang diberikan Teguh terkait dugaan penyewaan HP senilai Rp1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan setoran Rp3.000.000 (tiga juta rupiah) per bulan dari warga binaan terkesan kurang terbuka.
Media massa mendesak aparat penegak hukum (APH) di Kabupaten Tulang Bawang untuk segera bertindak. Mereka juga meminta Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Lampung mengawasi dan memberikan sanksi tegas jika terbukti ada pelanggaran.
Aturan Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa pelayanan kepada warga binaan harus bebas pungutan. Segala bentuk pungutan, baik kepada narapidana maupun keluarganya adalah melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi berat.
Kasus ini menjadi perhatian publik mengingat Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum, malah menjadi sarang dari praktik yang mencederai hukum.**
Penulis (TIM)